Berakhir sudah liga kopi yang penuh anomali. Di penghujung 2016, Persib menegaskan statusnya sebagai tim jago kandang sekaligus ambil posisi lima dalam klasemen akhir. Tentu bukan posisi yang terlampau membanggakan bagi tim penyadang status juara bertahan ISL. Meski demikian, posisi ini cukup untuk tak bikin malu bobotoh. Dua kali sukses menggulung Persipura di kandang dan tandang, serta gol perdana Mas Har menjadi catatan tersendiri yang patut dikenang. Catatan yang bisa menjadi secuil bukti betapa Djanur sukses merapikan beberapa kekacauan hasil tingkah polah Dejan di awal musim. Cara Djanur menata ulang skuad inilah yang lumayan menarik untuk ditelisik. Lewat data statistik yang dicatatkan oleh stadionsiliwang.com, sedikit banyak kita diberi jalan terang untuk dapat menerka pendekatan macam apa yang telah dilakukan Djanur dalam merancang ulang permainan Persib selama liga kopi.
Lupakan gegenpresing bringka bringka ala Dejan. Rudet.
Andil Winger dalam Skema Djanur
Djanur ambil opsi realitis, yakni kembali ke pakem 4-2-3-1 yang terbukti ampuh di 2014. Belakangan skema ini mulai dimodifikasi menjadi 4-1-4-1. Dua skema tersebut agaknya dilakukan untuk bisa mendominasi lini tengah dengan memasang jumlah pemain yang lebih banyak. Tujuannya untuk optimalkan opsi umpan pendek. Boleh jadi, Djanur merupakan salah satu pelatih yang menilai penting filosofi penguasaan bola. Dan statistik pun menunjukkan bahwa Djanur ternyata cukup sukses dalam hal ini. Dari total pertandingan yang dimainkan, Persib sukses menjadi tim kedua terbaik dalam penguasaan bola setelah Persipura. Persib menorehkan 55,53 % penguasaan bola, sementara Persipura di urutan teratas dengan persentase penguasaan bola 60,75 %.
Catatan di atas tidak berbanding lurus dengan produktifitas Persib mencetak gol. Dari 18 peserta liga kopi, Persib hanya mampu bertengger di urutan 10 dalam urusan mencetak gol. Hanya membukukan 45 gol, Persib teringgal jauh dari PBFC sebagai tim dengan jumlah gol terbanyak (62 gol). Persipura sebagai juara liga kopi sekaligus sebagai tim paling piawai penguasaan bolanya, mampu mengemas 53 gol. Artinya, meskipun Persib mampu melakukan penguasaan bola, tetapi jumlah gol yang dicetak masih seret.
Lewat pengamatan kita dari match ke match, dapat kita saksikan sendiri betapa lini tengah Persib sulit menciptakan peluang dari umpan satu-dua di depan kotak penalti lawan. Seperti sudah sering dibahas di LPM stadionsiliwangi, Gawir to gawir menjadi solusi paling sering dipertunjukkan skuad Pangeran biru. Cara ini mungkin pilihan paling praktis bagi Persib, mengingat, dan harus diakui pula, Persib punya winger yang unggul speed dan skill individunya. Tapi, apakah cara ini efektif dalam menghasilkan gol? Mari kita cek saja catatan assist dan gol para winger Persib.
Setidaknya ada 6 pemain dari era Dejan dan Djanur yang sempat ditempatkan sebagai winger. Atep dan Zulham adalah dua sosok yang paling sering mengisi pos winger dalam skema 4-2-3-1. Belakangan, Febri lebih sering masuk starting line up mengisi pos winger kanan yang biasa diisi Zulham sebelum bertugas di timnas. Sebelum Febri Bow rutin mengisi winger kanan, posisi winger kanan-kiri biasa ditambal sulam antara Tantan, David Laly, dan sesekali Syamsul Arif. Ternyata dari 6 nama yang mengisi pos winger Persib, tak ada seorang pun yang mampu menorehkan assist melebihi 2! Atep dan Zulham yang memiliki menit bermain paling banyak hanya kuat bikin 2 assist, tak lebih. Syamsul dan Bow sama-sama mencatatkan 2 assist, sementara Tantan dan Laly hanya sanggup masing-masing bikin 1 assist.
Uniknya, para winger ini justru menorehkan angka yang lebih tinggi dalam urusan mencetak gol. Meskipun belum bisa dibilang sangat produktif, Atep sukses mencetak 5 gol (dari 24 shot on target), Zulham hanya mampu bikin 2 gol (dari 12 SoT), Febri Bow berhasil menorehkan 3 gol (dari 10 SoT), Syamsul (dari 15 SoT) dan Tantan (dari 6 SoT) masing-masing 2 gol saja, dan David Laly (dari 5 SoT) cetak 1 gol. Dari total 45 gol yang ditecetak Persib, para winger sukses mengemas 15 gol atau 32% berkontribusi dalam keseluruhan gol Persib. Dari sisi statistik kasar tanpa tinjauan kualitatif, para winger ini bisa dibilang tidak bagus-bagus amat, mengingat Sergio seorang diri mampu mengemas 12 gol dari 23 Shot on Target (27 % berkontribusi dalam gol Persib). Meski demikian, Itung-itungan statistik di atas menunjukkan beberapa fakta yang mulai jelas.
Pertama, para winger Persib kurang dibekali artibut crossing atau umpan yang baik. Tanpa ribet analisis ini-itu, kita bisa lihat sendiri kualitas crossing para winger Persib cukup memprihatinkan. Pada titik ini, menjadi jelas kenapa assist dari para winger begitu minim. Kedua, winger yang dipunyai Persib menjalankan peran inverted winger (kuat kaki kiri, ditempatkan di sisi kanan dan sebaliknya) yang memang didesain untuk melakukan gerakan memotong ke kotak penalti lawan dengan skill dan aksi individunya. Invertde winger ini dalam skema 4-2-3-1 memang dirancang untuk lebih banyak mencoba peruntungannya melakukan shot ke gawang lawan, bukan memberikan umpan crossing. Harapannya agar bisa membagi beban dengan striker untuk sama-sama mencetak gol. Kenyataannya, gol dari para winger pun bisa dibilang tidak terlalu menggembirakan. Justru Atep dan Bow kian moncer menjelang akhir musim liga kopi. Atep justru mulai panas menunjukkan permainan terbaiknya ketika Bow memperlihatkan performa memukau dan menuai puja-puji. Nama-nama sekelas Syamsul Arif, Zulham, Tantan, apalagi David Laly justru tampil dibawah perform yang seharusnya. Terlalu banyak menggoreng bola!
Banyak di antara kita yang menilai bahwa buruknya lini serang Persib, termasuk menurunnya kinerja para winger dan striker, terkait ketiadaan playmaker sekelas Konate. Mungkin ada benarnya, tapi saya kira itu bukan faktor tunggal. Dalam sebuah tim yang mengutamakan penguasaan bola, semua pemain sejatinya punya tanggung jawab dalam membangun serangan. Jika Djanur konsisten dengan filosofi penguasaan bola dan umpan pendek, maka hanya menyalahkan playmaker/lini tengah yang buruk sebagai biang keladi mandegnya gol Persib, rasanya kurang adil juga. Faktanya Pugliara mampu membukukan 6 assist sekaligus menegaskan diri sebagai pengumpul assist terbanyak Persib, plus 3 gol ia cetak. Flo sukses membukukan 1 gol dan 1 assist. Sementara Kim, permainannya membaik setelah Djanur memberinya keleluasaan bergerak di kotak penaliti lawan. 4 gol dan 1 assist berhasil dicatatkan Kim. Secara tersamar, ada upaya dari Djanur untuk membagi peran Konate kepada 3 pemain ini. Sukseskah? Jawabannya bisa serba subjektif. Asumsi awal saya, Djanur mampu menata ulang poros tengah Persib supaya bisa lebih terorganisir sesuai tupoksi-nya masing-masing. Hal yang justru gagal dilakukan Dejan.
Apabila tahun depan Persib tetap berniat mengoptimalkan peran winger yang skillful sebagai kekuatan utama, saatnya Djanur menaruh perhatian, bukan hanya pada sektor gelandang tengah tetapi juga pada satu pos yang sering kali kita alpa membahasnya; Fullbek!
Sering kita lupa, selain gelandang tengah, dua fullbek justru punya link paling kuat dalam mensupport kinerja winger. Fullbek punya peran nyata dalam mengokupasi ruang di sektor sayap. Lantas, mungkinkah Djanur telah lalai ? terlalu polos rasanya jika menganggap Djanur lupa prinsip dasar macam ini. Pertanyaan logisnya; mungkinakah masih ada trouble di pos fullbek Persib?
Fungsi Fullbek dalam 4-2-3-1
Skema 4 bek di Indonesia jarang sekali dipraktikkan dengan cara paling optimis ala Pep atau Wenger. Kedua fullbek kanan-kiri jarang sekali dibiarkan leluasa membantu serangan. Pelatih realitis macam Djanur, biasanya membiarkan satu fullbek naik dan menugaskan fullbek lainnya lebih bermain aman. Pelatih yang pesimistis, lebih parah lagi; membiarkan kedua fullbek menunggu untuk bertahan. Padahal, peran fullbek sangat penting bagi sebuah tim yang ingin mendominasi pertandingan. Selain itu, ditengah maraknya penggunaan skema 4-2-3-1 yang mengakibatkan menumpuknya banyak pemain di tengah, fullbek punya andil penting membuka ruang di sayap. Pada titik inilah, fullbek dituntut punya koneksi kuat dengan winger. Ketika winger kesulitan menembus posisi bertahan lawan, fullbek bergerak ke depan untuk memberi opsi umpan atau mengalihkan perhatian bek lawan, menciptakan situasi 2 v 1. Dalam kondisi yang paling ofensif, fullbek bisa masuk hingga ke box penalti lawan, kemudian mencetak gol. Seamus Coleman, David Alaba, Belerin, dan Lahm contoh fullbek yang punya kapasitas untuk turut bikin gol. Sepakbola modern memungkin peran besar bagi seorang fullbek. Fullbek bukan sekadar pemain pelengkap.
Contoh paling jelas bagi Persib tentu saja partnership Supardi dan Ridwan; ketika Ridwan menggiring bola memotong ke dalam lini bertahan lawan, Pardi bergerak naik ke arah penalti box dan membuat Ridwan memiliki banyak opsi umpan atau mempermudah usahanya untuk mencoba shoting (gerakan Pardi memecah konsentrasi bek lawan). Di sisi lain, dalam cara yang paling konvensional, Pardi punya kekuatan natural di kaki kanan sehingga umpan-umpannya di area sepertiga akhir begitu mudah dikonversi jadi gol oleh striker atau gelandang. Cara-cara macam ini begitu sulit diperagakan Persib selama liga kopi. Bayangkan saja sosok-sosok yang mengisi pos fullbek Persib selama liga kopi; Jasuk, Dias, Basna dan Toni yang cenderung bertahan.
Bisa kita ingat kembali, betapa berat Basna melakukan peran ini di fullbek kanan. Apalagi Dias Angga, ia ketar ketir harus menyesuaikan ritme dengan Zulham. Terlambatnya Dias mensupport, membuat Zulham kerja sendiri melawan 2-3 pemain lawan sekaligus. Ini mungkin salah satu sebab kenapa kinerja winger Persib tidak optimal dan banyak menggoreng bola. Disamping itu, kualitas crossing Dias dari sepertiga akhir sungguh jauh dari harapan. Baik Dias maupun Basna, tak satu pun mampu menorehkan assist selama menempati pos fullbek kanan. Jasuk mulai tune in dipertengahan musim sebagai fullbek kanan, itu pun sering kali ia kesulitan ketika harus bertahan. Problem sama yang dialami Dias.
Jasuk lebih mujur, di putaran kedua liga, ia mulai bisa membangun konektifitas dengan Bow. Ia mulai bisa menyesuaikan ritme dengan Bow. Hasilnya, Jasuk sukses merampungkan 3 assist sekaligus mendudukkan dirinya sebagai pengumpul assist terbanyak kedua di bawah Ino. Catatan penting buat Djanur; 3 assist yang dibuat Jasuk, kalau saya tidak salah ingat, semuannya berupa crossing dari area sepertiga akhir, yang salah satunya suskses dikonversi Kim jadi gol (vs PSM). Artinya, Jasuk punya potensi perihal crossing. Ia punya atribut ideal sebagai fullbek kanan karena kaki kanannya bisa menjadi kaki terkuat untuk nyaman melakukan crossing di sepertiga akhir. Ceritanya akan lain jika Jasuk ditempatkan di fullbek kiri, ia akan kerepotan melakukan crossing karena harus memindahkan bola ke kaki kanannya terlebih dahulu (ingat Erik Setiawan di masa Arcan Iurie). Kasus macam ini sering terjadi pada pemain-pemain fullbek kiri Indonesia, yakni pemain dengan kaki natural kanan tetapi dipaksakan di kiri. Maklum, pemain fullbek kiri yang bagus dengan kaki natural kiri bisa dibilang langka. Nah, pada titik ini mengkaji ulang peran Toni di fullbek menjadi sangat menarik.
Toni nyaris menjadi the one and only fullbek kiri, pemain dengan menit terbanyak di Persib (2924 menit). Kalau kita insyafi, sebelum bergabung ke Persib, Toni biasa menempati pos gelandang (Sriwijaya dan Persija). Apakah Toni punya kaki natural kiri yang kuat? Yang kita tahu, Toni bisa crossing dengan kaki kirinya, tapi apakah crossing yang ditorehkan Toni cukup baik? Kalau ukurannya assist, harus kita akui Toni tak bagus-bagus amat dalam memberi umpan. Dengan menit bermain paling banyak, ia hanya mampu membukukan 1 assist, itupun dari freekick. Masih unggul Jasuk. Kalau ukurannya gol, Toni sedikit unggul dengan 1 gol dan 5 kali percobaan shot.
Lalu, kenapa Toni begitu dipercaya Djanur? Meski hanya sesekali mengambil peran ofensif, tapi dalam tugas bertahannya, Toni selalu bisa menutup jalur serangan winger lawan. Peran penting lainnya, ia selalu punya pembacaan/visi yang bagus saat transisi dari menyerang ke bertahan. Intersepsi Toni di sisi sayap, seringkali mampu menangkal counter lawan yang berbahaya. Peran terdahulu Toni sebagai DM adalah kunci. Atribut ini tidak dimiliki Jasuk apalagi Dias. Defend yang bagus, terkadang membuat Toni terlihat seperti center back ke-3. Kondisi ini tak jadi soal ketika fullbek kanan di 2014 diisi pemain macam Supardi, Intensitas dan kualitas serangan Persib bisa tetap terjaga. Jadi soal serius ketika fullbek kanan gagal support, fullbek kiri terlalu defend, kerja para winger jadi 2x lebih cape. Mengokupasi ruang di sayap jadi sulit. Kondisi inilah yang justru lumayan sering terjadi selama liga kopi. Jangan-jangan skema 4 bek Djanur jadi terasa percuma?
Jika Djanur istiqomah ingin optimalkan skema 4 bek, sudah saatnya mencoba; (1) mengasah kemampuan overlap dan crossing Jasuk serta mematangkan chemistry-nya dengan Bow (2) Mencari fullbek kanan baru yang lebih canggih bergerak di area perahanan lawan dan punya crossing jitu. (3) mengganggu kenyamanan Toni di fullbek kiri dengan suntikan pemain baru yang punya kekuatan kaki kiri plus visi selevel Toni. Ini jelas bukan perkara gampang, tapi perlu dilakukan.
Baru-baru ini nama Rizki Pora ramai diperbincangkan masuk daftar belanja Persib. Disusul kabar Wildansyah yang akan kembali merapat ke Bandung. Jika ini terealisasi, energi serang di sektor fullbek dalam skema 4-2-3-1 Djanur rasanya bakal terasa lebih cerah.
***
Hary G. Budiman, pekerja sejarah, pensiunan bek tengah.
Twitter : @hgbudiman